Tuesday, February 13, 2018

Harapan di Ujung Senja

Pagi mendebarkan bagiku setelah 3 hari berkutat dengan buku, laptop dan listing program. Harapanku rasanya begitu membumbung tinggi mengingat apa yang aku dapatkan nanti ketika ketiga nama pemenang diumumkan. besar harapanku agar hari Ini aku mendapatkan kabar yang dapat menggembirakan aku dan keluargaku di pulau. Tak bisa aku bayangkan bagaimana ekspresi ayah nanti ketika kabar bahagia aku sampaikan. 
“ah, aku terlalu berharap yang mungkin saja harapan ini akan menghancurkan semua impianku”, gumamku dalam hati. 

sudahlah pasrahkan saja, jika kehendak Allah aku akan berhasil, maka usahaku tak sia-sia selama ini, jikalau belum mungkin usahaku masih kurang dan akan ada jalan lain”. 

Sembari menunduk dan berdoa dewi fortuna singgah di gedung besar ini sekarang.

***
sekolah rasanya adalah hal yang aku tak pernah pikirkan. Ayah selalu mengajak ku melaut, belajar melihat bagaimana membaca arah angin dan menangkap ikan dengan jala. Geliat penasaranku selalu bertanya kepadanya bagaimana ia bisa tahu semua ilmu astronomi, padahal membacapun ia tak mampu. Adat anak kecil kampungku yang tinggal di pulau jauh dari hingar bingar kota, hanyalah bermain di pasir dan dilaut. Kami akrab dengan semua jenis ikan, tripang, kerang, bahkan kepiting pasir. Bisa dibayangkan bagaimana kelingnya kulitku dan rekan setimku di kampong.

Ayah berkisah ilmu melaut akan diturunkan kepada setiap anak laki-laki dirumah, jadi dalam bayanganku profesi paling keren adalah nelayan. Melihat ayah yang gagah, dan tegap ketika menarik perau yang entah berapa kilo beratnya, atau ketika tersenyum menyeringai menunjukan hasil tangkapan ikan tenggiri besar padaku.

Pagi itu kepala dusun kampong bertamu kerumah, memberi informasi tepatnya. Akan dibuka sekolah darurat di pulau ini, gurunya didatangkan dari Pangkalpinang, jadi bagi keluarga yang memiliki anak agar mau menyekolahkan anaknya di sekolah darurat. Ayah bertanya padaku,

“Din, pok nek sekulah dek?, belajer mace kek nulis, lak ade guru yeng ngajer, segale budak di kampong ne di suroh sekulah kek pemerintah”

ayah bertanya padaku dengan nada yang tidak memberiku kesempatan mengatakan tidak.

“aoklah”

hanya itu jawaban yang kuberikan.

Hari pertama sekolah, aku, bagong, ucup, dan siti adalah murid pertama didampingi orang tua kami masing-masing. Baru kemudian anak-anak lain datang, total ada 20 anak dengan umur yang bermacam-macam. Pak kadus memperkenalkan kami kepada seorang guru yang pakainnya rapi, bersih, dan berkulit putih.

“Perkenalkan ini ibu Fatma dan Bapak Ari, nanti ibu dan bapak ini yang akan mengajarkan kalian disekolah.” 

“Pagi semua…” sapa ibu guru.

Dengan suara berat Ia menyapa kami. Mengenakan kaca mata, kemeja yang entah itu bercorak apa dengan celana hitam tampak pas dibadannya. Entah kenapa, sejak pertama kali aku melihat mereka sangat tertarik dengan apa yang mereka kenakan. Membuat mereka terlihat cantik dan ganteng.

Pak kadus memberikan pidato sambutannya kepada kami semua, 20 anak nanti akan dibagikan kedalam kelas sesuai dengan kelas terakhir ia sekolah. Aku yang belum pernah mengenyam bangku pendidikan otomatis bersama ke 7 anak lainnya ditempatkan di kelas 1. Umurku sudah lebih dari 9 tahun waktu itu, tak taulah aku kalau nanti umur jadi kriteria untuk sebuah pekerjaan.


Setelah acara pembukaan selesai, kami dibagikan alat tulis, seragam beserta tas. Jujur saja hingga selesai acara aku tak paham akan kemana  sebenarnya kami diarahkan. Tak begitu paham atau memang aku tak mau memahami. Sudah gelisah hatiku ingin bermain di pantai dan naik perau bersama ayah.
Previous Post
Next Post

0 comments: