Pagi
mendebarkan bagiku setelah 3 hari berkutat dengan buku, laptop dan listing
program. Harapanku rasanya begitu membumbung tinggi mengingat apa yang aku
dapatkan nanti ketika ketiga nama pemenang diumumkan. besar harapanku agar hari
Ini aku mendapatkan kabar yang dapat menggembirakan aku dan keluargaku di
pulau. Tak bisa aku bayangkan bagaimana ekspresi ayah nanti ketika kabar
bahagia aku sampaikan.
“ah, aku terlalu
berharap yang mungkin saja harapan ini akan menghancurkan semua impianku”, gumamku
dalam hati.
sudahlah pasrahkan saja, jika
kehendak Allah aku akan berhasil, maka usahaku tak sia-sia selama ini, jikalau
belum mungkin usahaku masih kurang dan akan ada jalan lain”.
Sembari
menunduk dan berdoa dewi fortuna singgah di gedung besar ini sekarang.
***
sekolah
rasanya adalah hal yang aku tak pernah pikirkan. Ayah selalu mengajak ku
melaut, belajar melihat bagaimana membaca arah angin dan menangkap ikan dengan
jala. Geliat penasaranku selalu bertanya kepadanya bagaimana ia bisa tahu semua
ilmu astronomi, padahal membacapun ia tak mampu. Adat anak kecil kampungku yang
tinggal di pulau jauh dari hingar bingar kota, hanyalah bermain di pasir dan
dilaut. Kami akrab dengan semua jenis ikan, tripang, kerang, bahkan kepiting
pasir. Bisa dibayangkan bagaimana kelingnya kulitku dan rekan setimku di
kampong.
Ayah
berkisah ilmu melaut akan diturunkan kepada setiap anak laki-laki dirumah, jadi
dalam bayanganku profesi paling keren adalah nelayan. Melihat ayah yang gagah,
dan tegap ketika menarik perau yang entah berapa kilo beratnya, atau ketika
tersenyum menyeringai menunjukan hasil tangkapan ikan tenggiri besar padaku.
Pagi
itu kepala dusun kampong bertamu kerumah, memberi informasi tepatnya. Akan
dibuka sekolah darurat di pulau ini, gurunya didatangkan dari Pangkalpinang,
jadi bagi keluarga yang memiliki anak agar mau menyekolahkan anaknya di sekolah
darurat. Ayah bertanya padaku,
“Din,
pok nek sekulah dek?, belajer mace kek nulis, lak ade guru yeng ngajer, segale
budak di kampong ne di suroh sekulah kek pemerintah”
ayah
bertanya padaku dengan nada yang tidak memberiku kesempatan mengatakan tidak.
“aoklah”
hanya
itu jawaban yang kuberikan.
Hari
pertama sekolah, aku, bagong, ucup, dan siti adalah murid pertama didampingi
orang tua kami masing-masing. Baru kemudian anak-anak lain datang, total ada 20
anak dengan umur yang bermacam-macam. Pak kadus memperkenalkan kami kepada
seorang guru yang pakainnya rapi, bersih, dan berkulit putih.
“Perkenalkan
ini ibu Fatma dan Bapak Ari, nanti ibu dan bapak ini yang akan mengajarkan
kalian disekolah.”
“Pagi
semua…” sapa ibu guru.
Dengan
suara berat Ia menyapa kami. Mengenakan kaca mata, kemeja yang entah itu
bercorak apa dengan celana hitam tampak pas dibadannya. Entah kenapa, sejak
pertama kali aku melihat mereka sangat tertarik dengan apa yang mereka kenakan.
Membuat mereka terlihat cantik dan ganteng.
Pak
kadus memberikan pidato sambutannya kepada kami semua, 20 anak nanti akan
dibagikan kedalam kelas sesuai dengan kelas terakhir ia sekolah. Aku yang belum
pernah mengenyam bangku pendidikan otomatis bersama ke 7 anak lainnya
ditempatkan di kelas 1. Umurku sudah lebih dari 9 tahun waktu itu, tak taulah
aku kalau nanti umur jadi kriteria untuk sebuah pekerjaan.
Setelah
acara pembukaan selesai, kami dibagikan alat tulis, seragam beserta tas. Jujur
saja hingga selesai acara aku tak paham akan kemana sebenarnya kami diarahkan. Tak begitu paham
atau memang aku tak mau memahami. Sudah gelisah hatiku ingin bermain di pantai
dan naik perau bersama ayah.
0 comments: